Minggu, 11 Mei 2008

KESALAHAN SEPUTAR SHOLAT

KESALAHAN SEPUTAR SHOLAT

Sering tidak kita sadari, mengikuti kebiasaan kebanyakan orang di antara kita, padahal apa yang kita lakukan itu adalah kesalahan besar, terlebih dalam masalah ibadah.

Berikut beberapa kesalahan yang sering dilakukan setelah kita menunaikan sholat:

  1. Mengusap muka

Tidak ada tuntunan dari Rasulullah salallahu`alaihi wassalam tentang hal itu, dan ini dibenarkan oleh Syeikh Al-Bani dalam kitabnya Silsilah Al-haadiist Adh-dha`iifah wa Maudhuu`ah(no. 660)

  1. Berdo`a dan berdzikir berjamaah dengan dipimpin imam

Hal ini banyak diterangkan oleh ulama sebagai suatu amalan bid`ah seperti dalam Fataawa al-Lajnah ad-Daa-imah, Fataawa Syeikh bin Baz dll.

  1. Berdzikir dengan bacaan yang tidak ada nash/dalilnya baik lafazh maupun jumlah, atau berdzikir dengan dasar hadist yang dho`if

CONTOH: Membaca Al-fatihah setelah salam, membaca alhamdulillah selesai salam.

  1. Menghitung dzikir dengan biji-bijian tasbih.

Tidak ada satupun hadist yang shohih tentang hal tersebut di atas, bahkan sebagian palsu

عن عبد الله بن عمرورضي الله عنهما قل:رايت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح بيمينه

Dari Abdullah bin Amr: Aku melihat rasulullah menghitung bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya . (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)

  1. Berdzikir dengan suara keras

Hal ini justru bertentangan dengan Al-Qur`an Surat Al-A`raaf ayat 55 dan 205

  1. Mendawamkan/merutinkan do`a dan mengangkat tangan ketika berdo`a padahal tidak ada satupun contoh dari Rasulullah
  2. Saling berjabat tangan, hal ini tidak dilakukan oleh Rasulullah maupun sahabat bahkan tidak ada hadist shahih yang menceritakan perihal itu. Jika ini adalah kebaikan pasti berita itu akan sampai pada kita.

Diambil dari Buku Dzikir Pagi Petang karya Ustd. Yazid bin Abdul Qodir Jawas

1 komentar:

blog baru mengatakan...

mengenai dzikir berjamaah dengan dipimpin oleh imam bukankah msh mnjd sebuah "pr" untuk umat islam, khusunya para ulama?karena selain ada yg tidak membolehkan ada juga ulama yang membolehkan hal ini (tapi lupa siapa saja yg membolehkannya>>)untuk hal-hal semacam ini, sebaiknya keputusan bagaimana yang harus diambil stadz?